![]() |
Ilustraai by google |
Jogjaaktual.com, JURNALIS -- Ada Fakta menarik yang terungkap dalam Media Talks yang berlangsung di Hotel Harper Yogyakarta beberapa waktu lalu.
Dalam diskusi itu terungkap fakta bahwa, ditengah membanjirnya informasi di era digital profesi jurnalis juatru semakin ditinggalkan. Anak muda yang menimba ilmu di jurusan Komunikasi pun lebih tertarik menjadi content creator daripada menjadi jurnalis.
Mengapa?. Padahal, konon jurnalis merupakan “pilar keempat demokrasi.” Profesi yang sangat membanggakan dan terhormat.
Salah satunya karena profesi jurnalis dianggap tak mampu menjadi penopang hidup. Lebih dari itu, jurnalis dinilai mirip dengan Tugu Jogja yang berdiri ditengah keramaian lalu lintas tanpa ada yang memperdulikannya.
Padahal jurnalis adalah pekerja keras. Mereka bekerja seperti mesin : dikejar deadline, dituntut target berita, tapi isi dompet tetap tipis. Yang ironis, di tengah penderitaan itu, para penjaga moral profesi selalu berteriak “Jangan Terima Amplop.Itu bisa Mengancam Independensi!”
Padahal, uang transport itu sering kali cuma ongkos pulang dari liputan di tengah hujan. Atau sekadar cukup untuk memperpanjang umur kuota internet.
Tapi bagi sebagian aktifis organisasi profesi, itu dianggap suap atau duit curian. Padahal yang lebih berbahaya adalah sebuah kemunafikan yang dibungkus seminar etika.
Lihatlah kenyataannya di lapangan. Banyak wartawan kini bekerja tanpa gaji. Mereka hanya dibayar per berita, itu pun kadang tak cair-cair.
Perusahaan menangguhkan honor beberapa bulan karena kondisi keuangan sedang tidak baik-baik saja. Meski demikian, tak jarang , jurnalis tetap menulis berita sambil tetap berharap honor bulanan segera terbayar.
Namun di tengah penderitaan itu, sejumlah aktifis organisasi profesi justru sibuk berdebat soal “kode etik”.
Mereka menyalahkan jurnalis yang menerima transport, tapi lupa menanyakan: kenapa mereka menerimanya ? Mereka mengkhawatirkan soal integritas, tapi mereka lupa bahwa integritas itu bukan dibangun di ruang hampa
Seakan-akan wartawan cukup hidup dari udara, air hujan dan idealisme.
Jadilah profesi jurnalis kini seperti tambal ban di pinggir jalan — diperlukan, tapi tak dihargai. Mereka dituntut dapat menyajikan berita cepat, tapi tak dipedulikan cara menulisnya .
Jurnalis bahkan sering diperlakukan sebagai mitra marketing yang cukup dibayar dengan ucapan terima kasih. Mungkin kelak, ketika semua jurnalis sudah habis oleh kelelahan dan putus asa, barulah dunia sadar: tak ada berita tanpa orang yang mau menulisnya.
Tapi sampai saat itu tiba, profesi ini akan tetap menjadi paradoks tragis —diagungkan di podium, tapi diperas di lapangan tanpa upah, di bawah panji suci bernama “independensi.”
Penulis: HM JA
Editor: Redaksi.
Ikuti Saluran Jogja Aktual:
Social Header